Selasa, 06 Januari 2009

Musik Zaman Sekarang,


Lebih Komersil Daripada Idealis

Ada tiga elemen yang berperan dalam dunia musik. Pencipta, pemain, dan penikmat musik. Ketiganya seharusnya dan memang harus berkesinambungan untuk menciptakan sebuah dunia musik. Pencipta musik atau lebih popular disebut pencipta lagu dan pemain yang idealis akan menciptakan dan memainkan musik-musik yang mereka minati. Mereka melakukannya untuk kepuasan diri. Mereka biasanya tak peduli dengan selera para penikmat atau pendengar musik. Namun para penikmat musik idealis juga tidak sedikit. Penikmat musik yang idealis juga akan mendengarkan musik-musik yang mereka minati.

Selera musik dari zaman ke zaman selalu berubah. Hal ini dikarenakan kejenuhan yang dirasakan ketiga elemen tersebut. Dari yang dapat diamati, bisa dikatakan perubahan tersebut adalah dari musik yang rumit ke musik yang lebih mudah dicerna. Dari musik yang klasik ke musik yang popular (biasa disebut pop). Dari musik yang idealis ke musik yang komersil.

Kata orang bahasa yang paling jujur adalah bahasa musik. Orang akan mencipta, memainkan, atau mendengarkan musik mana yang diminatinya. Sesama pemain di dalam sebuah kelompok musik akan menyatu dengan musik yang mereka suka. Sebagai contoh yang lebih jelas; Hendra dan Hendri adalah anak kembar, namun selera musik mereka bisa berbeda. Itulah kejujurannya. Satu yang mungkin tak disadari adalah bahwa musik juga bisa “meracuni”. Selera musik seseorang akan mendapat pengaruh dari selera musik orang lain. Hal ini berlaku untuk ketiga elemen di atas.

Musik juga dipengaruhi oleh industri musik, namun bukan merupakan elemen yang dapat menciptakan dunia musik. Faktor-faktor yang mempertimbangkannya datang dari penikmat musik itu sendiri, yaitu musikalitas, kedudukan sosialnya, dan keadaan jiwa saat mendengar musik. Industri musik tidak mau ambil risiko untuk merilis album yang kelihatan kurang komersil atau kelewat idealis. Industri musik saat ini lebih banyak yang menyukai musik yang tidak terlalu rumit musikalitasnya. Musik yang idealis dianggap tidak memperdulikan selera penikmat musik. Dengan industri musik, para pencipta dan pemain lebih memikirkan selera musik para pendengar. Oleh karena itu, musik zaman sekarang terasa lebih komersil daripada idealis.

Pendengar yang masih idealis biasanya bisa mencipta atau memainkan musik. Jadi, mereka kurang begitu suka dengan musik yang lebih cenderung kekomersilannya daripada idealisnya. Kadang mereka juga kecewa ketika pencipta dan pemain musik yang tadinya menurut mereka idealis berubah haluan dan hanya mementingkan komersialisme. Mereka (pencipta dan pemain musik yang berubah haluan) juga tidak dapat disalahkan. Pendengar musik yang komersil lebih banyak ketimbang pendengar yang idealis. Pendengar komersil lebih banyak yang membeli karya mereka ketimbang pendengar yang idealis karena biasanya mereka juga bisa mencipta dan memainkan musik.

Masih bicara masalah industri musik. Sasaran pasar musik yang besar adalah anak-anak sekolah, terutama siswi SMP dan SMU. Biasanya mereka akan saling bertukar pinjam kaset atau CD ke sesama teman. Para siswa lebih kebanyakan meminjam daripada membelinya. Dari sasaran musik yang besar tersebut bisa dipastikan bahwa mereka adalah pendengar yang komersial. Mereka melihat musik dari lirik dan musik yang mudah mereka hapal atau dendangkan.

Sebagaimana telah disiratkan di atas, bahwa penikmat musik sebagai salah satu elemen dalam kehidupan musik tidak dapat diabaikan begitu saja. Malah, penikmat musiklah yang sesungguhnya memberi pendapat akhir, apakah karya karya sang pencipta dan pemain musik dapat diterima.

Penikmat musik yang baik adalah mereka yang tidak membiarkan susunan-susunan nada hanya masuk dalam telinga saja, atau katakanlah pasif. Mereka harus aktif menikmati keindahan sebanyak-banyaknya dari musik yang mereka dengar. Penikmat musik yang baik juga harusnya tidak terpengaruh oleh kekomersialan musik yang berasal dari unsur-unsur di luar musik. Unsur-unsur di luar musik tersebut di antaranya kostum baik pakaian yang aneh, nyentrik ataupun seksi, gaya panggung, atau hal visual lainnya. Unsur-unsur tersebut seharusnya tidak menggeser nilai musikalitas dalam kehidupan bermusik, namun saling melengkapi.

(Mokhamad Irfan, SS)



Sastra Dan Feminisme

Sastra dan Feminisme

Oleh: Mokhamad Irfan

Sastra adalah sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Karena sastra mempelajari tentang pengalaman hidup manusia dan mengabadikannya dalam sebuah karya sastra. Henkle (1977:6) menyatakan bahwa sastra itu mempelajari tentang orang lain, dan keuntungan yang besar dalam mempelajari sastra adalah kita dapat masuk kedalam kehidupan seseorang meskipun kita tidak bertemu orang tersebut secara langsung.

Disamping mempelajari tentang kehidupan manusia, kesusastraan juga seharusnya mempunyai nilai-nilai pelajaran tentang hidup. Henkle juga mengatakan bahwa kesusastraan itu mempunyai sebuah nilai khusus yang berbeda dengan disiplin ilmu yang lain, karena sastra memberikan gagasan atau pikiran pada kita. Gagasan Henkle terhadap kesusastraan tercermin dalam karya Agatha Christie, khususnya Crooked House (telah diterjemahkan dengan judul “Buku catatan Yosephine”).

Walaupun novel ini sebuah novel populer, novel ini berisi banyak nilai-nilai pelajaran kehidupan manusia. Jadi, novel ini tidak sekedar sebuah hiburan saja. Tidak sekedar cerita detektif yang membuat rasa penasaran saja. Novel ini juga memberi pembaca banyak pengetahuan tentang hidup. Salah satunya tentang feminisme pada abad XX di Inggris yang tergambar pada beberapa aspek didalam novel.

Untuk lebih mengenal feminisme, mari kita sekilas membicarakan sejarah gerakan feminisme di Amerika. Gerakan feminisme muncul di sekitar akhir abad XIX. Feminisme dibagi menjadi tiga gelombang, setiap gelombang berhubungan dengan aspek-aspek yang berbeda dari masalah yang sama. Gelombang pertama dimulai dari abad XIX sampai awal abad XX. Gelombang kedua dimulai sekitar tahun 1960 sampai 1980, yang dihubungkan oleh ketidaksetaraan dalam bidang hukum. Terakhir adalah gelombang ketiga yang terjadi sekitar tahun 1990 sampai saat ini.

Gerakan wanita dikenal sebagai gelombang kedua feminisme. Gelombang pertama feminisme terfokus pada hak wanita di bidang hukum, sedangkan gelombang kedua mencangkup setiap aspek wanita termasuk keluarga, seksualitas, dan pekerjaan.

Menurut Suzanne Staggenborg (2003:45), pada abad XIX, urbanisasi dan indrustialisasi membantu wanita memberontak akan semua hal yang menyangkut rumah tangga dan yang membebani wanita. Karena industrialisme yang maju, wanita di XIX dan diawal abad XX tidak terikat oleh pekerjaan di sawah. Pada abad XX, ekonomi dan perpindahan masyarakat membuat persamaan derajat seperti halnya pada lapangan kerja untuk wanita. Turunnya angka kelahiran juga menurunkan peran wanita sebagai pengurus rumah tangga.

Pada zaman Ratu Victoria, umumnya wanita hanya mempunyai sedikit hak di bidang hukum dan kesempatan berkarir daripada laki-laki. Ibu rumah tangga dianggap sebagai pekerjaan yang paling cocok untuk wanita. Lalu pada abad ke-20, wanita dibanyak negara mendapatkan hak untuk memilih dan meningkatkan pendidikan mereka juga untuk karirnya.

Inggris adalah Negara pelopor di bidang ekonomi. Revolusi industri yang pertama terjadi di Inggris pada abad XVIII sampai awal abad XIX dan revolusi industri ini mengantarkan kita pada perkembangan masyarakat dunia yang didominasi oleh masyarakat kelas menengah. Separuh penduduk Inggris tinggal di perkotaan. Laju perkembangan ekonomi dan perdagangan dunianya membuat Inggris menjadi Negara paling kaya di dunia pada saat Inggris dipimpin oleh ratu Victori, yaitu abad XIX. Beberapa saat sebelum dan sesudah revolusi industri, Kota London adalah pusat kapitalisme dunia.

Ketika revolusi industri berkembang, barang-barang yang tadinya diproduksi dengan tangan di beberapa industri rumah tangga, diproduksi oleh mesin di pabrik-pabrik. Wanita bersaing dengan pria untuk beberapa pekerjaan, tapi wanita masih dikhususkan di industri tekstil dan pabrik pakaian. Kenaikkan jumlah pekerja wanita juga terjadi pada tahun 1900an. Wanita-wanita tersebut umumnya mendapat gaji lebih kecil dari lelaki.

Pada waktu tersebut diatas perempuan dan laki-laki sama-sama berpartisipasi dalam mencari nafkah. Bersamaan dengan berkembangnya pertanian, pekerjaan wanita masih disekitar rumah. Mereka menyiapkan makanan, membuat baju, dan merawat anak-anak. Mereka juga membantu membajak sawah, memanen, dan memelihara hewan peliharaan. Berkembangnya kota, hal ini membuat banyak wanita Inggris berjualan barang-barang di pasar. Wanita Inggris mulai “meninggalkan” rumah mereka.

Perubahan sosial abad XX telah menciptakan nilai dan beraneka gaya hidup. Banyak wanita masuk lapangan pekerjaan, tetapi wanita masih banyak yang berperan sebagai ibu rumah tangga. Perubahan sosial abad XX juga merubah susunan populasi seperti di keluarga. Hal ini terjadi karena disamping menjadi seorang ibu, dia juga bekerja diluar rumah.

Ketika bertambahnya jumlah pekerja wanita, pengalaman mereka juga bertambah. Disamping menjadi pekerja, wanita pada waktu itu punya pendidikan yang lebih baik. Ketika bertambahnya jumlah pekerja wanita, persaingan juga terjadi diantara mereka. Wanita yang mempunyai latar belakang pendidikan yang lebih baik akan memenangkan persaingan itu. Dengan kata lain, wanita pada abad XIX adalah wanita yang berpendidikan. Staggengborg menyatakan suatu hal yang berkaitan dengan feminisme, secara biologis, wanita lebih lemah dari laki-laki, tapi secara psikologis, wanita tidak bisa ditempatkan di bawah laki-laki.





Minggu, 04 Januari 2009

Topeng Priya


Pembaca Bloggoblog yang tidak Goblog, ini ada satu puisi bagus nih. Saya mau bagi-bagi. Baca juga resensinya.

Topeng Priya

Wing Kardjo

Sajak apa

mesti kuhafalkan

untuk memikatmu?

Topeng

apa mesti kukenakan

untuk menyambutmu?

Kunyanyikan

kekawin asmara.

Kukenakan topeng Arjuna. Tidak!

Tidak!

Kulupakan semua

sajak, kutanggalkan

semua topeng!

Bukan saja

aku tak mau

tapi juga tak mampu

menipumu,

aku

cinta padamu.

Saya suka sekali sama puisi ini, bloggoblog Reader. Memang seharusnya cinta itu begitu. Saya jadi inget dulu sewaktu saya pacaran sama beberapa mantan saya dulu. Modelnya macem-macem. Biasa anak gaul getho. Saya jadi harus make topeng. Saya harus suka apa yang dia suka. Saya harus punya apa yang dia sukai. Yah pokoknya penuh dengan kepura-puraan deh. Akhirnya hubungan seperti itu gak bertahan lama. Putus. Tapi saya dapet cewe baru lagi. Yang baru ini malah lebih parah. Malah dia berani nyuruh saya supaya saya dalam tanda kutip pake topeng aja. Maksudnya begini, bloggoblog Reader yang tidak goblog, si cewek itu lebih suka saya yang tampil dibuat. Dia bilang begini, “aku gak suka kamu apa adanya.” Begitu. Dan bagusnya hubungan kita juga gak tahan lama.

Puisi Topeng priya ini begitu romantis, Bloggoblog Reader yang tidak Goblog. Penulis, Wing Kardjo menyiratkan bahwa tidak tampil apa adanya adalah sebuah kebohongan dan dosa. Seharusnya laki-laki atau istilah Almarhum Wing Kadjo priya, itu berusaha memakai topeng untuk memikat wanita. Memang ada sebuah usaha jika kita memakai “topeng” untuk memikat wanita. Namun usaha tersebut tidak seharusnya terlalu memaksakan si priya.

Lagian, kalo udah cinta sama priya, Wanita itu gak pake mata kok cintanya. Menurutku sih. Soalnya saya dah nemuin cewek yang kayak gitu.

Thanks ya, Bloggoblog Reader yang tidak Goblog.

www.mokhamad-irfan.blogspot.com

www.ipankbloggoblog.blogspot.com





Jumat, 02 Januari 2009

Apa aja